Selasa, 23 Oktober 2007

akUw daN bULan BAhasa

Bulan Bahasa
Oktober sudah jamak diingat oleh banyak orang sebagai Bulan Bahasa. Tidak lain karena bulan ini dikaitkan dengan peristiwa besar Sumpah Pemuda yang salah satu isinya, “Menjunjung tinggi bahasa persatuan, Bahasa Indonesia.” Penyusun Sumpah Pemuda sendiri sedemikian menghargai bahasa — yang mewakili kebudayaan — sehingga tidak langsung dipukul rata sebagai, “satu tanah air, bangsa, dan bahasa Indonesia.” Khusus untuk bahasa, disebut sebagai menjunjung. Jadi sekalipun kita sudah bertanah air dan berbangsa yang satu, kebudayaan kita di dalamnya, termasuk bahasa, masih menyimpan beragam jenis. Namun demikian bahasa nasional tetap dijunjung karena dengan begitulah orang banyak tersebut dapat berkomunikasi satu dengan yang lain.
Berbeda dengan bahasa negara-negara lain yang umumnya memiliki tata-bahasa yang kompleks, Bahasa Indonesia sering secara sembarangan disebut lebih sederhana. Saya tulis “secara sembarangan” karena klaim ini hanya diungkapkan sambil lalu tanpa didasari sebuah sigi yang memadai. Yang jelas, rujukan tentang aspek-aspek kebahasaan di negeri kita masih minim. Pelajaran tentang bahasa masih seperti hanya untuk fakultas sastra dan buku-buku pengajaran berbahasa minim di rak-rak toko buku kita. Tentu saja terlalu jauh jika dibandingkan dengan Bahasa Inggris misalnya yang bahkan pengajaran berbahasanya sudah menjadi industri dengan omset besar. Bahasa Belanda yang hanya digunakan di kawasan Benelux yang mini pun, memiliki materi rujukan yang cukup banyak, dari tingkat pemula dengan beberapa variasi metode, sampai pembahasan untuk pemakaian yang lanjut.
Perasaan “sederhana” pertama terhadap Bahasa Indonesia jika kita sedang mempelajari bahasa-bahasa lain adalah ketiadaan perubahan bentuk kata kerja. Baik subjek atau waktu (tenses) tidak menyebabkan perubahan apapun pada kata kerja. Saya pergi, kamu pergi, dan dia pergi; demikian juga saya pergi kemarin, saya pergi besok. Tidak ada perbedaan pada kata kerja. Saya pernah mengalami kondisi yang sulit untuk memahami pertanyaan: apa yang sedang kamu lakukan sekarang? dengan teman chatting, sehingga saya jawab pekerjaan saya waktu ini dan selanjutnya, setelah belum jelas juga, pekerjaan saya hari ini. Akhirnya lawan bicara saya menuliskannya: what are you doing NOW?
Karena keelokan Bahasa Indonesia terletak pada pemakaian imbuhan, baik berupa awalan, sisipan, dan akhiran, di situ pula kesulitan yang kerap dihindari oleh mereka yang sedang belajar. Toh, memang lebih aman menyebut, “Saya tulis di kertas” ketimbang “Saya menulis di kertas.” Tulis, menulis, menuliskan, atau menulisi? Perkara imbuhan ini beberapa kali saya “membesarkan hati” teman di sini, “Jika kalian anggap Bahasa Indonesia itu sederhana tata bahasanya, coba kalian bayangkan seseorang yang baru belajar dan salah ucap, ‘Saya mau meniduri anak saya’, padahal maksudnya, ‘Saya mau menidurkan anak saya’.” Jadi jangan main-main!
oleh karena itu setelah saya mengetahui tentang keelokan bahasa indonesia saya jadi mengerti tentang pentingnya bahasa indonesia saat ini. karena itu saya akan turut memeriahkan bulan bahasa ini dengan mengikuti berbagai macam lomba di sekolah.

Tidak ada komentar: